- Konsep peradilan bebas dan tidak memihak sudah seharusnya ada dan dijalankan di setiap negara hukum. Ini berkaitan dengan kewajiban dan wewenang hakim dalam melaksanakan tugas yudisialnya. Supaya keadilan dan kebenaran dapat yang dimaksud dengan peradilan bebas dan tidak memihak? Arti peradilan bebas dan tidak memihak Dikutip dari buku Hukum Jaminan Kesehatan Sebuah Telaah Konsep Negara Kesejahteraan dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan 2020 oleh Endang Wahyati Yustina dan Yohanes Budiwarso, peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah hakim bebas dari pengaruh siapa pun dalam melaksanakan tugasnya. Hakim tidak boleh dipengaruhi dengan alasan apa pun, entah itu karena kepentingan jabatan politik maupun uang ekonomi. Konsep ini merupakan salah satu prinsip negara hukum, selain supremasi hukum, persamaan dalam hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ-organ eksekutif independen, dan juga Bedanya Peradilan dan Pengadilan Menurut Jimly Asshiddiqie dalam buku Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia 2010, konsep peradilan bebas dan tidak memihak ditujukan untuk menjamin keadilan dan kebenaran. Agar hal itu tercapai, tidak boleh ada intervensi dalam proses pengambilan putusan oleh hakim, baik dari kekuasaan eksekutif, legislatif, masyarakat, maupun media massa. Peradilan bebas dan tidak memihak berarti hakim tidak memihak kepada pihak mana pun, kecuali kebenaran serta keadilan. Meski begitu, dalam menjalankan tugasnya, mulai dari pemeriksaan perkara hingga penjatuhan putusan, hakim harus bersifat terbuka dan menghayati nilai-nilai keadilan yang tertanam di masyarakat. Kesimpulannya, maksud dari peradilan yang bebas dan tidak memihak adalah hakim tidak boleh dipengaruhi dan bebas intervensi dari pihak mana pun dalam menjalankan kewajiban dan wewenangnya. Baca juga Sistem Hukum dan Peradilan Indonesia Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Sistemhukum Indonesia merupakan perpaduan beberapa sistem hukum. Sistem hukum Indonesia merupakan perpaduan dari hukum agama, hukum adat, dan hukum negara eropa terutama Belanda sebagai Bangsa yang pernah menjajah Indonesia. Belanda berada di Indonesia sekitar 3,5 abad lamanya. Maka tidak heran apabila banyak peradaban mereka yang diwariskan termasuk sistem hukum.
ArticlePDF Available AbstractKemerdekaan Pers yang dianut oleh Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pers merupakan aksentuasi dari sistem Libertarian Press yang menghendaki adanya suatu âkebebasan persâ yang total absolut dengan meletakan segala konsekuensi hukum atas substansi pemberitaannya melalui institusi yudikatif, tanpa menghendaki adanya bentuk bentuk kriminalisasi terhadap pers dengan segala alasan dan maksud arah limitatifnya. Previlege Right Absolut dari Pers memiliki rambu-rambu yang memberikan suatu batasan âmoral hazard- atas dasar Interest of justice atau national security atau for prevention of disorder or crime yang dapat dikeluarkan oleh lembaga peradilan sebagai bentuk kriteria Sub Judice Rule ataupun Disobeying a Court Order dari pranata Contempt of Court. suatu pemberitaan yang merupakan wujud Kebebasan berekspresi dengan pemberitaan yang âprejudicialâ, bahkan substansi pemberitaanya menimbulkan suatu âmisleading conclusion and opinionâ serta telah memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta berdampak negatif pada jalannya proses peradilan maupun pihak lain secara luas sebagai pengakuan dari Sistem Pers Libertarian dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers itu sendiri, baik secara ethik norma maupun hukumnya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. 31 FREEDOM & IMPARTIAL OF JUDICIARY 1 Freedom and Impartial of Judiciary Indriyanto Seno Adji Guru Besar Hukum Pidana Pengajar Program Pascasarjana UI Bidang Studi Ilmu Hukum Email Abstrak Kemerdekaan Pers yang dianut oleh Undang-Undang Tahun 1999 tentang Pers merupakan aksentuasi dari sistem Libertarian Press yang meletakan segala konsekuensi hukum atas substansi pemberitaannya melalui institusi yudikatif, tanpa menghendaki adanya bentuk bentuk kriminalisasi terhadap pers dengan segala alasan dan maksud arah limitatifnya. Previlege Right Absolut dari Pers memiliki rambu-rambu yang memberikan suatu batasan moral hazard- atas dasar Interest of justice atau national security atau for prevention of disorder or crime yang dapat dikeluarkan oleh lembaga peradilan sebagai bentuk kriteria Sub Judice Rule ataupun Disobeying a Court Order dari pranata Contempt of Court. suatu pemberitaan yang merupakan wujud Kebebasan berekspresi dengan prejudicialmenimbulkan suatu serta telah memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta berdampak negatif pada jalannya proses peradilan maupun pihak lain secara luas sebagai pengakuan dari Sistem Pers Libertarian dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers itu sendiri, baik secara ethik norma maupun hukumnya. Kata kunci Peradilan, Pers, Bebas Abstract Press of independence adopted by Law No. 40 of 1999 on the Press is an accentuation of the Libertarian Press system which requires the existence of îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î1 Seminar diselenggarakan oleh Puslitbang Hukum & Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung dengan tema , pada hari Kamis, tanggal 22 Mei 2014, jam - Selesai di Hotel Red Top, Jalan Pecenongan No. 72, Jakarta 10120 . Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î32 a absolute total "freedom of pers" by putting all the legal consequences on the substance of its news through judicial institutions, without calls for criminalization forms of the press with all the reason and limitedly direction purpose. Absolute Privilege Right of the Press have signs that provide a limitation on -moral hazard- based on Interest of justice or national security or for the prevention of disorder or crime that can be issued by the judiciary as a form of Sub Judice Rule criteria or Disobeying a Court Order from Contempt of Court institutions. a proclamation which is a form of freedom of expression with the news that "prejudicial", even the news substance pose a "misleading conclusion and opinion" as well as has provided an opinion and conclusions that are misleading or incorrect and negative impact on the course of judicial proceedings and other parties broadly as recognition of the Press Libertarian System may be faced with a sense of responsibility of the press itself, either ethic norms and laws. Keywords Judicial, Pers, Freedom Pendahuluan A Freedom of the Pressmenjadi sesuatu kenyataan sejak memasuki Era Reformasi. Bila Era Orde Lama terkesan adanya suatu Power Approach pendekatan kekuasaan berupa tindakan prevensi yang membatasi kebebasan pers itu sendiri. Kilas balik Era Orde Baru, dengan UU Tahun 1982 tentang Pokok-Pokok sebagai karakter social responsibility, press seharusnya lebih menekankan pada Legal Approach Pendekatan Hukum. 2 polar yaitu, yaitu polar pertama, pers bebas yang harus dimaknai sebagai larangan dilakukan tindakan prevensi, sedangkan pers yang bertanggung jawab sebagai polar kedua, untuk menyelesaikan berkaitan dengan pemberitaan pers melalui mekanisme hukum. Implementasi Pers Bebas dan Bertanggungjawab ini nyatanya berlainan dengan makna dan konsepnya, dilakukan dengan tindakan prevensi terhadap sama sekali tidak tampak dalam kehidupan ketatanegaraan dan pers di era orde baru, akibatnya makna dari pendekatan hukum menyerupai dengan pendekatan kekuasaan, yang membenarkan tindakan prevensi berupa sensor maupun breidel terhadap substansi pers . Kekuatan konsep libertarian ini muncul sejak Era Reformasi dengan disahkannya UU Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU ini, khususnya sebagai Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 33 aksentuasi dari sistem libertarian yang menghendaki adanya suatu hukum atas substansi pemberitaannya melalui institusi yudikatif, tanpa menghendaki adanya bentuk bentuk kriminalisasi terhadap pers dengan segala alasan dan maksud arah limitatifnya. Pada sistem Libertarian di era reformasi ini, tidak dikehendaki adanya tindakan prevensi dalam bentuk apapun, artinya polar kebebasan sering diartikan sebagai kebebasan tanpa batas kebebasan total absolut - yang hanya tunduk pada Behavior Code atau Kode Etik Internal komunitas pers, yang dianggap berlainan dengan penyelesaian jalur hukum. Karakter antara sistem pers social responsibility dengan sistem pers libertarian memiliki kesamaan identitas, yaitu tunduk pada Syarat Limitatif artinya, tidak diperkenankan membetuk atau menciptakan ketentuan-ketentuan yang justru akan membatasi kebebasan pers itu sendiri dan Syarat Demokratis artinya tidak diperkenakan melakukan pemidanaan terhadap pernyataan-pernyatan yang bersifat prive, seperti diatur dan yang masih berlaku pada Pasal 132 bis KUHP yang undemokratis sifatnya. Suasana eforia demokrasi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menempatkan era a Freedom of the Press ini memiliki keterkaitan dengan kehendak paralelitas adanya suatu a Freedom and Impartial Judiciary Peradilan yang Bebas dan Tidak Berpihak. A Freedom of The Press menjadi salah satu karakter dari Social Power di Negara yang menganut Sistem Demokrasi dalam ketatanegaran-nya, selalin adanya Civil Society, begitu pula dengan bermunculan Supporting State Organ, yang lebih berfungsi sebagai kekuatan paralel yang dapat mengawasi kinerja Lembaga Negara Utama Main State Organ . Bagi Kekuasaan Peradilan, konsepsi ide yang berkembang secara universal mengenai perlunya suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak suatu yang tentunya kehendak peradilan ini bebas dari segala sikap dan tindak maupun bentuk multi-intervensi merupakan ide yang universal sifatnya. Kehendak progresif terhadap suatu freedom and impartial judiciary merupakan karakteristik dan persyaratan utama bagi Negara dan Masyarakat, baik yang mengenal sistem Hukum Anglo Saxon maupun Eropa Kontinental, yang menyadari keberpijakan pada prinsip . 3 ciri khusus Negara Hukum Indonesia yang digariskan oleh ilmu hukum melalui prinsip-luas daripada Dicey, yaitu 1 pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi yang mengandung perlakuan yang sama di bidang-bidang politik, hukum, sosial ekonomi, budaya dan pendidikan, 2 legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya, 3 peradilan yang bebas, tidak bersifat Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î34 memihak, bebas dari segala pengaruh kekuasaan Dengan demikian, tegas Oemar Seno Adji, ciri-ciri tersebut menunjukan bahwa ada persamaan prinsip yang diterapkan di semua negara-negara termasuk Amerika Serikat International Commission of Jurisrt tersebut . Identitas persamaan fungsi dalam hal kebebasan fungsional, kebebasan dalam tugas peradilan dan teknis judisial, karenanya tidak memungkinkan pengaruh ekstra judisial terhadap peradilan merupakan persyaratan fundamental, karenanya adalah Mahkamah Agung sebagai top judicial institution menghendaki adanya suatu penghindaran peran ekstra judicial terhadap kekuasaannya yang secara historis justru menempatkan area ekstra judisial terhadap kebebasan peradilan yang mandiri. Pendekatan sejarah terhadap fungsi dan kewenangan peradilan, dengan Mahkamah Agung sebagai puncak tanggung jawab peradilan, dilakukan segala cara, bentuk dan formulasi sehingga menempatkan makna kebebasan peradilan pada titik semu yang minimal, bahkan pola intervensi kekuasaan ekstra yudisial menghasilkan pola variatif pendekatannya, termasuk dengan secara sebagai melalui peran media, khususnya eksistensi kebebasan pers yang sangat luas di era reformasi ini. Disatu sisi, Kebebasan Pers dan Kebebasan Peradilan merupakan kekuasaan yang memiliki paralel yang seharusnya bermakna impartial, terpisah dan tidak dapat dimasuki oleh kepentingan manapun, baik kepentingan individu, kelompok, kekuatan politik maupun kekuasaan negara. Namun demikian disisi lain, Kebebasan Pers tanpa batas seringkali justru menimbulkan inparalelitas dengan berjalannya Kebebasan Peradilan manakala adanya penyimpangan fungsi pers sebagai alat kontrol sosial dengan melakukan misleading opinionpembentukan opini maupun penyimpangan opini, yang secara tidak langsung berdampak aksentuasi pada kesan adanya intervensi quasi pada kehidupan Kebebasan Peradilan. Beberapa variasi dan metode terhadap intervensi yang tegas dan jelas maupun quasi sifatnya, telah berlangsung sejak era kemerdekaan bangsa dan negara ini, sampai pasca kemerdekaan maupun era reformasi ini sebagaimana dijelaskan pada bagian pembahasan berikut ini. îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î2 Ibid, halaman 167. Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 35 A. Misleading OpinionYang Quasi Dalam tataran sistem tata negara yang mengakui eksistensi demokrasi, suatu kebebasan berpendapat merupakan suatu syarat yang tak dapat dihindari lagi. Namun demikian, pendekatan demokratis terhadap kebebasan berpendapat tersebut tetap tidak diartikan sebagai pendekatan yang absolut. Apapun formulasi kebebasan yang bermakna absolut justru akan membahayakan kebebasan itu sendiri, karena itu kebebasan itu seringkali memberikan makna-makna pembatasan, meskipun pembatasan itu tidak dalam konteks meniadakan, tetapi sekedar memberikan makna kebebasan secara adequat, yaitu mencari keseimbangan antara kebebasan dengan perlindungan terhadap individu, masyarakat termasuk keluarga dan Negara, suatu . Kebebasan yang adequat ini mengingatkan kita semua pada makna kebebasan pers di negara-negara Eropa Barat. Antara kebebasan pers dengan kebebasan berpendapat memiliki persamaan makna, yaitu suatu kebebasan yang berimbang antara kepentingan individu, masyarakat dan negara. Convention on the Freedom of Information tahun 1985 di Roma yang adequat dengan perkembangan asas kebebasan berpendapat, tetap memberikan batasan sebagai rambu-rambu terhadap kebebasan pers, yaitu apabila pemberitaan pers yang secara substansial memuat 3 a. National security and public order keamanan nasional dan ketertiban umum, seperti Bab I, II, V dari Buku II KUHP; b. Expression to war or to national, racial or religious hatred pemidanaan terhadap hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama; c. Incitement to violence and crime hasutan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan, seperti Pasal 160, Pasal 161 KUHP; d. Attacks on founders of religion serangan terhadap pendiri agama yang 156a KUHP; e. Public health and moral kesehatan dan moral, seperti Pasal 281, Pasal 282 KUHP; f. Rights, honour and reputation of others hak-hak, kehormatan dan nama baik seseorang, yapasal-pasal 154, 155, 156, 157, 207, 208, 310, 315 KUHP, walaupun sudah ada yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î3 Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Cetakan Kedua. Jakarta. Penerbit Erlangga. 1991, halaman 35. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î36 g. Fair administration of justice umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan kemudian merupakan suatu bentuk dari contempt of court Nampak tegas bahwa kebebasan pers dengan Sistem Libertarian-pun tidak menghendaki adanya suatu kebebasan pers yang sangat absolut, yang justru akan menimbulkan suatu tirani kekuasaan yang berkelebihan dan akan menghancurkan makna kebebasan tersebut. Memang tidaklah mudah menterjemahkan antara pemberitaan yang merupakan wujud Kebebasan berekspresi dengan pemberitaan yang prejudicial apabila pemberitaan itu telah memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta berdampak negatif pada pihak lain secara luas. Pemberitaan-pemberitaan yang substansial sebagai kekuatan atas kebebasan pers yang absolut misleading opinionkehidupan dari Sistem Pers Libertarian. Dipahami bahwa agak tidak sesuai bagi Indonesia mengikuti aliran Libertarian dengan Negative Freedom-nya yang mengenal dan mengakui adanya suatu Right to Lie Hak Berbohong dengan memberikan basis adanya lembaga hukum sumber terpercaya, Right to Vilify Hak untuk mencemarkan nama baik, Right to Distort Hak untuk Mengacaukan maupun Right to Invade Privacy Hak memasuki kehidupan pribadi. Di Inggris, seperti halnya di Indonesia, pers sangat memperoleh perlindungsan hukum dalam membuat suatu berita. Pers mempunyai untuk tidak menyebutkan sumber berita. Ia dapat melakukan publikasi tanpa adanya suatu kewajiban untuk mengungkap darimana ia memperoleh informasinya. Hak istimewa ini bersifat absolut, sepanjang pemberitaan itu tidak mengandung pernyataan yang dapat menyinggung agama dan melanggar kesusilaan, dan yang terpenting harus bersifat . Apabila berkaitan dengan pemberitaan dari suatu proses persidangan maupun perkara, maka patut diperhatikan 2 hal yaitu jangan sampai adanya ketentuan stigmatis yang mengarah pada kesalahan tersangka/terdakwa sebelum adanya putusan pengadilan, juga jangan sampai seolah-olah tersangka/terdakwa hanyalah korban dari rekayasa pengadilan. Andaikata aturan ini dilanggar, maka ia akan menghadapi masalah, bahkan akan ditelusuri yang Admiralty Spy Casemengenai pemberitaan yang menyesatkan dari 2 wartawan Mulholland dan Foster yang diberitakan melibatkan pejabat teras Angkatan Laut Inggris, yaitu Admiral Willian Vassal. Kedua wartawan menolak memberikan nama privilege Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 37 right yang bertindak atas kepentingan masyarakat dan dengan alasan maka wartawan seharusnya wajib menyebutkan sumber informasinya. Dengan penolakan tersebut, wartawan dikenakan hukuman penjara 6 bulan Mulholland dan 3 bulan Foster atas dasar pelanggaran tidak mematuhi perintah pengadilan melalui keputusan dari Judge of Court Appeal oleh Lord Justice Denning, seorang Hakim Tinggi kharismatik dan dihormati di Inggris dengan mendasari No Court has power to order a person to disclose, nor is any person guilty of contempt for refusing to disclose the source of any information contained a publication for which he is responsible, unless the court is satisfied that disclosure is necessary in the interest of justice or national security or for 4 Dapatlah dicermati bahwa Inggris dengan sistem Kebebasan Pers yang absolut masih memberikan rambu-rambu limitasi terhadap kebebasan melalui antara lain, lembaga Contempt of Court. Limitasi atas suatu kebebasan pers absolut didalam kebebasan pers yang seharusnya dianut oleh Negara Hukum dikemukakan oleh Oemar Seno Adji dinilai oleh seorang pakar Hukum Tata Negara Satya Arinanto sebagai karakteristik-karakteristik terbaik yang pernah dikemukakan oleh seorang ahli hukum pers hingga saat ini, yang dapat menggambarkan secara keseluruhan kondisi-kondisi ideal pelaksanaan konsep kebebasan pers yang seharusnya dianut oleh suatu Negara Hukum, yaitu Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expression tadi, seperti dikemukakan oleh negara-negara sosialis, Ia tidak mengandung lembaga sensor preventif, Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya, Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan syarat limitatif dan demokratis, seperti diakui oleh Hukum Nasional, Hukum Internasional dan Ilmu Hukum, Kemerdekaan Pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa kewajiban-kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan beroep ethiek îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î4 Oemar Seno Adji & Indriyanto Seno Adji. Peradilan Bebas & Contempt of Court. Cetakan Kesatu. Jakarta. Penerbit Diadit Media. 2007, Halaman 208 -211. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î38 Ia merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers yang sebagai kritik adalah negatif dalam karakternya, melainkan pula ia wettige initiatievenPemerintah, Aspek positif diatas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu subordinatedpolitik, Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positif ini jarang ditentukan oleh kaum Libertarian sebagai suatu unsur essentieel dalam persoalan mass-communication, subordinatedbahwa konsep Authoritarian adalah tidak acceptable bagi pers Indoensia, Konsentrasi perusahan-ongebreideiddaadwerkelijk feitelijkterhadap pelaksanaan ide kemerdekaan pers. Pemilihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam bentuk co-partnership atau co-operative entah dalam bentuk lain, yang tidak memungkinkan timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan saja adalah perlu, Kebebasan Pers dalam lingkungan batas limitatif dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam Negara Demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers merdeka, Konsentrasi perusahaan-perusahaan yang membahayakan performance eksesif, kebebasan pers yang dirasakan berkelebih-lebihan dan seolah-olah memberikan hak kepada pers untuk misalnya membohong the right to lie, mengotorkan nama orang the right to vilify, the right to invade privacy, the right to distort dan lain-lain, dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers itu sendiri. 5 Persyaratan doktrin dan konvensi internasional mengenai kebebasan informasi yang berkaitan dengan kebebasan pers ini merupakan rujukan dan basis yang menekankan bahwa suatu a freedom of the press dalam alam Libertarian itu, bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya, namun demikian tidaklah diperkenakan pelanggaran atas syarat limitatif dan demokratis dalam kehidupan pers tersebut . îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î5 Oemar Seno Adji. Pers Aspek-Aspek Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta Penerbit Erlangga. 1977. Halaman 96-97. Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 39 B. Intervensi Peradilan Bebas Pengaruh Kekuasaan Negara Pola Usia Pendekatan sejarah terhadap kebebasan peradilan menjadi wacana yang memberikan indikasi adanya campur tangan ekstra yudisial, dan karenanya indikasi yang demikian merupakan karakterisasi dari negara-negara yang mengakui konsepsi , baik negara dengan sistem liberal, neo liberal maupun sosialis. Beberapa konsepsi dan ide kebebasan peradilan yang tidak memihak sudah menjadi acuan negara-negara dengan multi-pola sistem, karenanya suatu peradilan bebas dan tidak memihak adalah karakteristik negara demokratis yang mengakui adanya prinsip due process of law Rule of Lawtersebut. Suatu kehendak a freedom and impartial yudiciary harus dimulai dengan meneliti kondisi internal peradilan, termasuk para hakim, sebagaimana ditegaskan Bagir Manan bahwa selain kondisi internal, martabat Hakim ditentukan juga oleh tatanan lingkungan yang menawarkan berbagai godaan yang dapat menurunkan martabatnya, yang karenanya tidak layak baginya menjadi hakim. 6 Beberapa sarana dan prasarana ekstra yudisial memberikan area peluang lembaga-lembaga non-yudisial untuk mempengaruhi idea konsepsi peradilan bebas, antara lain interelasi antara kewenangan Hak Asasi Manusia dengan segala implikasi terhadap polemik pola, cara ataupun bentuk intervensi terhadap peradilan bebas dan tidak memihak sebagaimana akan dijelaskan dibawah ini . 1 Persoalan klasik tentang Judicial Review atau Materiele Toetsingsrecht Hak Uji Materil atau "HUM" Mahkamah Agung MA terhadap Perundang-undangan mencuat kepermukaan lagi. Menengok kebelakang, saat Purwoto Gandasubrata alm. mantan Ketua MA menghendaki agar MA diberikan hak tersebut agar Hakim dapat mengambil keputusan yang lebih jernih dan melalui suatu kasus yang diperkarakan masyarakat dapat memperoleh perlindungan hukum. Tidak tertinggal pula T. Mulya Lubis menginginkan agar Mahkamah Agung harus proaktif melakukan hal tersebut, sebaliknya Albert Hasibuan dan Oetojo Oesman mantan Menteri Kehakiman tidak menghendaki adanya HUM terhadap Perundang-undangan karena wewenang itu lebih sesuai diberikan kepada MPR saat itu, dan sekarang diberikan kepada Mahkamah Konstitusi dengan cara lebih mengaktifkan Badan Pekerja MPR untuk menguji UU. îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î6 Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian. Jakarta Penerbit Mahkamah Agung. 2005, halaman 51. Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î40 Saat itu, Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 Kekuasaan Kehakiman maupun Pasal 31 UU Tahun 1985 Mahkamah Agung memang mengatur pembatasan kewenangan HUM Mahkamah Agung hanya terhadap peraturan yang tingkatannya dibawah UU saja. Persoalannya sekarang adalah bagaimana implementasi HUM Mahkamah Agung terhadap UU yang berkaitan dengan kasus yang dihadapinya selama ini? Memang, penempatan secara kodifikasi tersebut membatasi HUM Mahkamah Agung hanya terhadap peraturan yang tingkatannya dibawah UU, namun tidak sedikit dalam implementasi praktik Mahkamah Agung telah melakukan HUM dengan mengadakan penyingkiran terhadap ketentuan UU yang tingkatannya adalah "wet" atau UU dalam arti formil. Pada era Soebekti mantan Ketua MA pernah melakukan judicial review terhadap UU yang dipandang sebagai pasal-pasal yang secara urgensif tidak sesuai dengan dinamisasi masyarakat dan melanggar asas keadilan, misalnya dalam lingkup hukum perdata melalui Pasal 284 ayat 3 pengakuan anak, Pasal 108 perbuatan perdata seorang istri ataupun Pasal 1460 KUHPerdata resiko jual beli yang selanjutnya dituangkan melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963. Pada bidang hukum pidana formil, peran Adi Andojo Soetjipto mantan Ketua Muda Mahkamah Agung melakukan HUM terhadap UU. No. 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana yang muncul saat kasus tindak pidana korupsi R. Natalegawa Bank Bumi Daya. Saat itu Adi Andojo Soetjipto membenarkan upaya Jaksa / Penuntut Umum mempergunakan upaya kasasi meskipun berdasarkan Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak dapat kasasi, karena dipandang pasal ini tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan sejak saat itu Pasal 244 KUHAP hampir dikatakan "mati" dalam praktiknya. Dari pengamatan tersebut, ternyata Mahkamah Agung telah sejak dahulu melakukan terobosan-terobosan dengan melakukan pengujian materil terhadap peraturan yang mempunyai tingkatan sama dengan UU dalam arti formil, meskipun aturan menegaskan Mahkamah Agung tidak mempunyai HUM terhadap UU. Sarana yang dipergunakan Mahkamah Agung untuk melakukan HUM tersebut diatas adalah dengan wewenang dan fungsi justisial putusan dan legislatifnya SEMA dan kesemua pengujian itu dilakukan terhadap UU yang secara materil sudah tidak sesuai dengan dinamisasi masyarakat, begitu pula dengan hak uji materil terhadap UU, khususnya dalam penanganan kasus, khususnya UU Pidana yang isinya ternyata tidak demokratis dan melanggar hak mengeluarkan pendapat, meskipun terdapat akibatnya, berupa adanya bentuk quasi intervensi tersamar dari kekuasaan. Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 41 Dari pendekatan historis, Mahkamah Agung pernah melakukan pencabutan terhadap beberapa pasal yang masuk dalam kelompok "Haatzaai Artikelen" Buku II Bab V tentang Kejahatan terhadap Ketertiban Umum, yaitu Pasal 153 bis, Pasal 153 ter dan pasal 161 bis KUHPidana karena dipandang tidak demokratis dan tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Mahkamah Agung, atas inisiatif Adi Andojo Soetjipto pun, pernah melakukan pengujian secara materil terhadap Pasal 160 KUHPidana menghasut melakukan tindak pidana dalam kasus Muchtar Pakpahan karena dipandang sebagai pasal kolonial dan tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat masa kini, meskipun pengujian itu akhirnya dibatalkan oleh putusan Peninjauan Kembali dari Soerjono saat itu Ketua Mahkamah Agung. Semua ini menunjukkan bahwa kekuasaan Mahakamh Agung dalam memberikan penafsiran, sekaligus pengujian atas UU dalam arti formil melalui penanganan kasus yang ada di hadapan Mahkamah Agung, akhirnya memiliki dampak pada lembaga kekuasaan kehakiman, yang tentunya sebagai bentuk cerminan dari Quasi Intervensi dari lembaga ekstra judisial, khususnya terhadap kasus-kasus yang memiliki kepentingan ekonomi maupun politik. Memang harus diakui, dalam praktik komparatif negara-negara berkembang yang mengakui adanya HUM Mahkamah Agung terhadap UU akan selalu menimbulkan "friksi politis". Contohnya, sewaktu Ketua Mahkamah Agung saat itu Oemar Seno Adji, memungkinkan melakukan Perundang-undangan agar dapat sesuai dengan perkembangan dinamis dari masyarakat, meskipun dipandang sebagai pola pengujian materil terhadap Undang-Undang. Dalam perkara MALARI, Pasal 270 KUHAP Jaksa sebagai eksekutor putusan pidana yang berkekuatan tetap secara substansia -Ketua Mahkamah Agung agar para Terpidana perkara MALARI Hariman Siregar cs tidak perlu melaksanakan pidana, karena wajib menyelesaikan sisa studi, meski non-eksekutabel pasal 270 KUHAP hanya bersifat case by case basis, tetapi beleid Ketua Mahkamah Agung ini menimbulkan friksi diantara 2 kepentingan politis kekuasaan, eksekutif dan yudikatif. Friksi kepentingan politik tersendiri atas perkara MALARI tersebut. Pola usia yang kemudian memaknai pembatasan usia 65 tahun bagi Hakim Agung beleid -eksekutabel Ketua Mahkamah Agung atas perkara MALARI . Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î42 Ide progresif pembaruan peradilan harus didukung, namun tetap dihindari sentralitas patrimonial kekuasaan yang justru melanggar independensi lembaga Mahkamah Agung. The dangerous potential of . Ahsin Thohari mengutip pendapat F. Andrew Hassen bahwa sistem perekrutan dan promosi seorang hakim dapat menjadi tolak ukur seberapa jauh sebenarnya kekuasaan kehakiman yang merdeka itu diimplementasikan dalam suatu Negara, karena secara tehnis sistem perekrutan dan promosi Hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi kekuasaan politik didalamnya. Rekruitmen Hakim Agung, termasuk pula promosi, eksaminasi, dan permasalahan usia memang memberikan arah peluang intervensi kekuasaan lembaga ekstra yudisial. Menilik sisi komparasi hukum, polemik atas pola rekruitmen maupun pola usia Hakim Agung merupakan lahan intervensi eksternal terhadap kekuasaan kehakiman. Era Marcos di Philipina, manakala Presiden Marcos menerbitkan Internal Security Act/ISA sejenis UU Subversi, judicial review atas ISA ditolak Supreme CourtMahkamah Agung ini, Pemerintah menerbitkan Martial Law semacam PERPU yang berisi perpanjangan usia Hakim Agung. Atas Martial Law ini, para pemutus ini memperoleh reward perpanjangan usia sebagai Hakim Agung. Sebaliknya di India ketika era Indira Gandhi menerbitkan UU Nasionalisasi Bank-Bank Asing. Judicial Review dikabulkan Supreme Court untuk menyatakan tidak sah UU tersebut. Atas sikap oposisinya yang tidak mengabdi kekuasaan, Pemerintah menerbitkan Martial Law yang berakibat Supreme Court memperoleh berupa pensiun dini para pemutus sebagai Hakim Agung yang seharusnya memasuki usia pensiun masih 3 tahun kedepan . 2 Independensi dalam proses penegakan hukum merupakan suatu wacana yang imperatif sifatnya. Lord Elwyn-Jones mantan Labour Lord Chancellor mengkritisi intervensi prosesual dan substansial terhadap independency of judiciary dengan menyatakan bahwa in Nazi Europe and ctims were the independence of the judiciary and the independence of the legal profession. Bahkan Lord Justice Dening, seorang Hakim Court of Appeal Inggeris yang kharismatis, menegaskan bahwa melewati 30 tahun integritas para Hakim have become increasingly cautious about what they have seen as assaults on their privileges and positions. The assaults were on the institution of the judiciary . Gangguan, serangan dan intervensi terhadap institusi peradilan itu begitu menguatnya sehingga pola intervensi dikemas Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 43 dalam bentuk tahapan-tahapan prosesual pra-ajudikasi yang meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, penggeledahan, penyitaan dan lain-lain, kesemua ini memberikan arah seolah adanya suatu justifikasi yang berlindung di balik prinsip legalitas, bahkan kemasan ini dilakukan kemudian melalui regulasi dengan metode pola rekruitmen Mengutip ulang dari Ahsin Thohari mengutip pendapat F. Andrew Hassen bahwa sistem perekrutan dan promosi seorang hakim dapat menjadi tolak ukur seberapa jauh sebenarnya kekuasaan kehakiman yang merdeka itu diimplementasikan dalam suatu Negara, karena secara teknis sistem perekrutan dan promosi Hakim dapat membuka ruang terciptanya intervensi kekuasaan politik didalamnya. Rekruitmen Hakim Agung, termasuk pula promosi, eksaminasi, dan permasalahan usia memang memberikan arah peluang intervensi kekuasaan lembaga ekstra yudisial. Hubungan antara Lembaga Negara sungguh pernah mengalami polemik yang substansial yang tidak dikehendaki terulang dihari kedepan nantinya. Betapa tidak, sebagai suatu ingatan yang lalu saja bahwa ide progresif Komisi Yudisial dengan alasan reformasi yudikatif menimbulkan pro-kontra, lebih-lebih manakala PERPU Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dijadikan sandaran arah legalitas. Ide melakukan re-evaluasi melalui seleksi ulang para Hakim Agung Aktif merupakan bentuk ketidakpercayaan Komisi Yudisial terhadap institusi peradilan tertinggi di Indonesia, ada semacam resistensi Komisi Yudisial seolah sebagai representasi publik terhadap lembaga peradilan tertinggi ini. Disatu sisi, pengamat membenarkan ide Komisi Yudisial ini sebagai salah satu bentuk terhadap Mahkamah Agung sebagai simbol institusi keadilan, tetapi pendapat lain menegaskan bahwa ide Komisi Yudisial justru menempatkan norma legislasi yang kontradiktif dan membentuk demoralisasi institusi peradilan tersebut. Tidak dipungkiri lagi, ide progresif Komisi Yudisial ini merupakan kepanjangan dari proses kasus suap lembaga Mahkamah Agung dalam perkara Probosutejo. Ketidak hadiran Ketua Mahkamah Agung atas lembaga negara ini. Walaupun akhirnya tidak terwujud, ide Seleksi Ulang Hakim Agung Aktif dari Komisi Yudisial mendapat respon Presiden dengan Salah satu pertimbangan tidak terealisasi Rancangan PERPU ini adalah kesan pola rekruitmen Hakim Agung Aktif sebagai bahagian intervesi quasi terhadap Lembaga Judisial Tertinggi di Indonesia . Harus selalu menjadi suatu ingatan, sebagaimana pernah dikatakan secara kritis oleh Denny Indrayana saat itu bahwa ide revolusioner adalah Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î44 yang berpotensi menimbulkan tabrakan lebih mematikan bagi prinsip independence of judiciary ke depan. Tidak mustahil, dimasa datang hadir rezim otoriter yang menjadikan rujukan atau preseden Perpu seleksi ulang hakim agung demikian untuk merombak susunan hakim agung yang tidak mengabdi pada kekuasaannya. 7 Bayangkan saja, andai putusan MA dianggap tidak mengabdi pada kekuasaan, saat itu pula dilakukan pemberhentian Hakim Agung dengan berlindung secara legalitas di balik Perpu melalui pola seleksi ulang. PERPU dapat dimanfaatkan oleh Kekuasaan politik, juga menjadi sarana kewenangan yang polemik oleh lembaga pemegang PERPU tersebut itu. C. Lembaga Contempt of Court s SafeguardKebebasan Peradilan & Trial by the Press Sebagaimana diuraikan diatas, bahwa salah satu rambu-rambu dari Kebebasan Pers adalah persoalan mengenai a fair administration of justice umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan contempt of courtPasal 210 KUHP dan Pasal 224 KUHP dan lain-lain, suatu pranata dari kebutuhan adanya bagi berlangsungnya a freedom and impartial judiciary yang sangat universal sifatnya. Berbagai komparasi praktik dan konsep pers bebas, Sistem Libertarian-pun tidak menghendaki adanya suatu kebebasan pers yang sangat absolut, yang justru akan menimbulkan suatu tirani kekuasaan yang berkelebihan dan akan menghancurkan makna kebebasan tersebut. Memang tidaklah mudah menterjemahkan antara pemberitaan yang merupakan wujud Kebebasan berekspresi dengan pemberitaan yang prejudicial apabila pemberitaan itu telah memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta berdampak negatif pada pihak lain secara luas. Pemberitaan-pemberitaan yang substansial sebagai kekuatan atas kebebasan pers yang absolut misleading opinionkehidupan dari Sistem Pers Libertarian. Dipahami bahwa agak tidak sesuai bagi Indonesia mengikuti aliran Libertarian dengan Negative Freedom-nya yang mengenal dan mengakui adanya suatu Right to Lie Hak Berbohong dengan memberikan basis adanya lembaga hukum sumber terpercaya, Right to Vilify Hak untuk mencemarkan nama baik, Right to Distort Hak untuk Mengacaukan maupun Right to Invade Privacy Hak memasuki kehidupan pribadi. îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î7 Denny Indrayana im Agung. Kompas, 27 Januari 2006. Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 45 Di Inggris, seperti halnya di Indonesia, pers sangat memperoleh perlindungsan hukum dalam membuat suatu berita. Pers mempunyai untuk tidak menyebutkan sumber berita. Ia dapat melakukan publikasi tanpa adanya suatu kewajiban untuk mengungkap darimana ia memperoleh informasinya. Hak istimewa ini bersifat absolut, sepanjang pemberitaan itu tidak mengandung pernyataan yang dapat menyinggung agama dan melanggar kesusilaam, dan yang terpenting harus bersifat . Apabila berkaitan dengan pemberitaan dari suatu proses persidangan maupun perkara, maka patut diperhatikan 2 hal yaitu pertama, jangan sampai adanya ketentuan stigmatis yang mengarah pada kesalahan tersangka/terdakwa sebelum adanya putusan pengadilan, kedua, juga jangan sampai seolah-olah tersangka/terdakwa hanyalah korban dari rekayasa pengadilan. Kebutuhan akan tertibnya penyelenggaraan peradilan sesuai konsep due process of law di Indonesia, telah memberikan pengakuan legislatif terhadap eksistensi lembaga Contempt of Court sebagaimana termuat pada Penjelasan Umum UU Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, maka perlu dibuat suatu UU yang mengatur peniindakan terhadap perbuatan, tingkat laku, sikap dan atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan yang dikenal sebagai Bahkan Rancangan KUHP telah menempatkan pranata Contempt of Court pada Bab VI Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan yang tercantum pada Pasal 326 sampai dengan Pasal 340 KUHP yang mencakup pendekatan doktrin terhadap makna Contempt of Court yang meliputi, antara lain perbuatan, tingkah laku, sikap atau ucapan yang dapat merendahkan martabat dan kehormatan pengadilan . Kriteria konstitutif ini sesuai doktrin yang mencakup perbuatan-perbuatan merendahkan martabat peradilan, yaitu Sub judice rule, suatu usaha untuk mempengartuhi hasil dari suatu pemeriksaan peradilan, Disobeying a court order, tidak mematuhi perintah peradilan, Obstructing justice, membikin gangguan/obstruksi peradilan, Scandalizing pengadilan, melanggar sopan santun di pengadilan Misbehaving in court, tidak berkelakukan baik dalam pengadilan Lembaga atau pranata ini akan memberikan jaminan penyelenggaraan peradilan yang baik dan sesuai aturan Undang-Undang, Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î46 dengan tetap memperhatikan doktrin, regulasi konstitutif maupun konvensi internasional tentang safeguard of free and impartial judiciary. Dalam keterkaitan antara perbuatan dalam lingkup Sub Judice Rule dengan Trial By the Press berkaitan dengan , surat kabar Daily Mirror Inggris yang memberikan komentar yang mengarah pada prejudice dari Vampire Arresteddihukum denda 10 Ribu Pound dan editor dihukum pidana penjara 3 bulan. Let the Directors beware. If this sort of thing should happen again, they may find that the arm 8 Semua ini menjelaskan bahwa pembentukan melalui peran media sebagai kekuatan sosial dari Freedom of the Press, tidaklah selalu bersifat total absolut, ia memiliki rambu-rambu hukum sebagai pengawasan kekuatan tangan keadilan! Kesimpulan yang dapat diberikan secara garis besar mengenai Peran Media, Opini Publik dan keterkaitannya dengan A Freedom & Impartial of Judiciary dirangkumkan sebagai berikut 1. Kilas balik Era Orde Baru, dengan UU Tahun 1982 tentang Pokok- sebagai karakter sistem Social Responsibility Press seharusnya lebih menekankan pada Legal Approach Pendekatan Hukum. 2 polar yaitu, yaitu polar pertama, pers bebas yang harus dimaknai sebagai larangan dilakukan tindakan prevensi, sedangkan pers yang bertanggung jawab sebagai polar kedua, untuk menyelesaikan berkaitan dengan pemberitaan pers melalui mekanisme hukum. Implementasi Pers Bebas dan Bertanggungjawab ini nyatanya berlainan dengan makna dan konsepnya yang justru mengarah pada Sistem Authoritarian yang mengenal breidel dan sensor. 2. Sejak Era Reformasi dengan disahkannya UU Tahun 1999 tentang Pers. Dalam UU ini, khususnya Pasal 2, istilah yang digunakan sebagai aksentuasi dari Sistem Libertarian Press yang total absolut dengan meletakan segala konsekuensi hukum atas substansi pemberitaannya melalui institusi yudikatif, tanpa menghendaki adanya bentuk bentuk kriminalisasi terhadap pers dengan segala alasan dan maksud arah limitatifnya. Pada sistem Libertarian di era reformasi ini, tidak dikehendaki adanya tindakan prevensi dalam bentuk apapun, îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî îîîîîîîîîîîîîîîîîî î8 Lord Denning. The Due Process of Law. First Reprint. London Billing & Sons Limited. 1980. Page 17. Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 47 artinya polar kebebasan sering diartikan sebagai kebebasan tanpa bataskebebasan total absolut - yang hanya tunduk pada Behavior Code atau Kode Etik Internal komunitas pers, yang dianggap berlainan dengan penyelesaian jalur hukum, yaitu tunduk pada Syarat Limitatif artinya, tidak diperkenankan membetuk atau menciptakan ketentuan-ketentuan yang justru akan membatasi kebebasan pers itu sendiri dan Syarat Demokratis artinya tidak diperkenakan melakukan pemidanaan terhadap pernyataan-pernyatan yang bersifat prive, seperti diatur dan yang masih berlaku pada Pasal 132 bis KUHP yang undemokratis sifatnya. 3. Konvensi Internasional dan doktrin mengenal rambu-rambu terhadap kemerdekaan pers dan berpendapat, yang akhirnya diserahkan kembali kepada pers dalam menegakkan peran self-cencorship secara institusional pers, yaitu antara lain, tidak menyimpangi dari a. National security and public order keamanan nasional dan ketertiban umum, seperti Bab I, II, V dari Buku II KUHP; b. Expression to war or to national, racial or religious hatred pemidanaan terhadap hasutan untuk menimbulkan kebencian ras atau agama; c. Incitement to violence and crime hasutan untuk melakukan kekerasan dan kejahatan, seperti Pasal 160, Pasal 161 KUHP; d. Attacks on founders of religion serangan terhadap pendiri agama yang menimbulkan pelanggaran terhadap delik e. Public health and moral kesehatan dan moral, seperti Pasal 281, Pasal 282 KUHP; f. Rights, honour and reputation of others hak-hak, kehormatan dan nama baik seseorang, yang um -pasal 154, 155, 156, 157, 207, 208, 310, 315 KUHP, walaupun sudah ada yang dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sebagai haatzaai artikelen g. Fair administration of justice umumnya menyangkut delik-delik yang bersangkutan dengan pengadilan contempt of courtPasal 210 KUHP dan Pasal 224 KUHP. Rambu-rambu seperti ini memberikan aktuensi bahwa agak tidak sesuai bagi Indonesia mengikuti aliran Libertarian dengan Negative Freedom-nya yang mengenal dan mengakui adanya suatu Right to Lie Hak Berbohong dengan memberikan basis adanya lembaga hukum sumber terpercaya sebagai Previlege Right, adanya pula Right to Vilify Hak untuk mencemarkan nama baik, Right to Distort Hak untuk Mengacaukan maupun Right to Invade Privacy Hak memasuki kehidupan pribadi. 4. Walaupun Pers mempunyai yang absolut untuk tidak menyebutkan sumber berita, Ia dapat melakukan publikasi tanpa adanya Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î48 suatu kewajiban untuk mengungkap darimana ia memperoleh informasinya, sepanjang pemberitaan itu tidak mengandung pernyataan yang dapat menyinggung agama dan melanggar kesusilaan, serta rambu-rambu lainnya, dan yang terpenting harus bersifat . Apabila berkaitan Peradilan Bebas dan Tidak Memihak, dengan pemberitaan dari suatu proses persidangan maupun perkara, maka patut diperhatikan 2 hal yaitu pertama, jangan sampai adanya ketentuan stigmatis yang mengarah pada kesalahan tersangka/terdakwa sebelum adanya putusan pengadilan, kedua, juga jangan sampai seolah-olah tersangka/terdakwa hanyalah korban dari rekayasa pengadilan, karenanya suatu pemberitaan yang merupakan wujud Kebebasan prejudicialpemberitaanya menimbulkan suatu apabila pemberitaan itu telah memberikan suatu opini dan konklusi yang menyesatkan atau salah serta berdampak negatif pada jalannya proses peradilan maupun pihak lain secara luas sebagai pengakuan dari Sistem Pers Libertarian dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers itu sendiri, baik secara etik norma maupun hukumnya. 5. Previlege Right Absolut dari Pers adalah memiliki rambu-rambu yang memberikan suatu batasan -suatu moral hazard- atas dasar Interest of justice atau national security atau for prevention of disorder or crime yang dapat dikeluarkan oleh lembaga peradilan sebagai bentuk kriteria Sub Judice Rule ataupun Disobeying a Court Order dari pranata Contempt of Court. 6. Pada Negara Demokrasi yang universal dan proses demokratisasi transisi seperti Indonesia yang mengenal adanya suatu kebebasan berpendapat dan berekspresi, keberadaan pranata Contempt of Court adalah sesuatu kebutuhan mendesak -an urgent need- yang sebenarnya telah ada sejak UU Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung maupun terwujud melalui Rancangan KUHP Nasional, suatu terhadap a Freedom & Impartial Judiciary!. Daftar Pustaka Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian. Jakarta Penerbit Mahkamah Agung. 2005. Denny Indrayana Kompas, 27 Januari 2006 . Freedom & Impartial of Judiciary, Indriyanto Seno Adji 49 Lord Denning. The Due Process of Law. First Reprint. London Billing & Sons Limited. 1980 Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Cetakan Kedua. Jakarta. Penerbit Erlangga. 1991 -. Pers Aspek-Aspek Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta Penerbit Erlangga. 1977 Oemar Seno Adji & Indriyanto Seno Adji. Peradilan Bebas & Contempt of Court. Cetakan Kesatu. Jakarta. Penerbit Diadit Media. 2007 îîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîîî Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 4, Nomor 1 Maret 2015 31 -50 î50 îîîîî ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Due Process of Law. First Reprint. London Billing & Sons LimitedLord DenningLord Denning. The Due Process of Law. First Reprint. London Billing & Sons Limited. 1980Perkembangan Delik Pers di IndonesiaAdji Oemar SenoOemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Cetakan Kedua. Jakarta. Penerbit Erlangga. 1991 -. Pers Aspek-Aspek Hukum. Cetakan Kedua. Jakarta Penerbit Erlangga. 1977
1a) Coba saudara kemukakan Laut Cina Selatan masuk lingkup Hukum Internasional apa dan bedakan dengan lingkup hukum internasional lainnya dengan memberikan contoh kasusnya Ruang lingkup Hukum Intenasional : HUKUM INTERNASIONAL PUBLIK âąHukum Internasional (HI) HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (HPI) âąKeseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara
Le droit carcĂ©ral est une sphĂšre de droit qui conjugue Ă la fois le droit criminel et le droit administratif. Ce droit sâapplique Ă toutes les personnes qui risquent de purger une peine dans un Ă©tablissement carcĂ©ral. Lâavocat en droit carcĂ©ral vise avant tout la dĂ©fense des droits des dĂ©tenus dans les diffĂ©rentes Ă©tapes du processus menant Ă une sentence en milieu pĂ©nitencier. IdĂ©alement, le travail de lâavocat carcĂ©raliste dĂ©bute avant mĂȘme le prononcĂ© de la peine afin de prĂ©parer lâentrĂ©e en Ă©tablissement de dĂ©tention du client pour par la suite analyser et planifier avec celui-ci son plan de sortie. PARLEZ A UN AVOCAT Deux systĂšmes dâemprisonnement parallĂšles Il existe deux systĂšmes parallĂšles en matiĂšre dâadministration pĂ©nitentiaire, le provincial et le fĂ©dĂ©ral. Ces deux systĂšmes visent les mĂȘmes objectifs Ăvaluer la dangerositĂ© sociale dâun dĂ©tenu ; Assurer la gestion du risque dâun prisonnier ; Assurer une rĂ©insertion sociale efficace afin que le prĂ©venu devienne un citoyen respectueux des lois ; Assurer la protection du public ; Selon la durĂ©e de la peine dâemprisonnement Lorsquâun individu est condamnĂ© Ă une sentence dâemprisonnement, il va se diriger vers une prison provinciale ou vers un pĂ©nitencier fĂ©dĂ©ral suivant la logique suivante Une peine dâemprisonnement de deux ans moins un jour = Prison provinciale Une peine dâemprisonnement de deux ans ou plus = PĂ©nitencier fĂ©dĂ©ral Pour le QuĂ©bec, ces deux systĂšmes sont respectivement rĂšglementĂ©s par Le Service correctionnel du QuĂ©bec SCQ Loi sur le systĂšme correctionnel du QuĂ©bec et pour le Canada Le Service correctionnel du Canada SCC Loi sur le systĂšme correctionnel et la mise en libertĂ© sous conditions Provincial et fĂ©dĂ©ral, des gestions trĂšs distinctes Il existe une diffĂ©rence concrĂšte au sein des murs entre les paliers fĂ©dĂ©raux et provinciaux. Le fait que les sentences au niveau provincial soient plus brĂšves et que les ressources octroyĂ©es soient moins nombreuses entraine une gestion beaucoup plus souple quâau niveau fĂ©dĂ©ral. Souplesse ne signifie pas que les dĂ©tenus nâen tirent que des avantages. En voici quelques exemples Les programmes en prison provinciale On trouve de nombreux programmes de sĂ©jour en Ă©tablissement carcĂ©ral destinĂ©s aux prisonniers. Ils sont plus expĂ©ditifs et moins structurĂ©s en provincial quâau fĂ©dĂ©ral. Le temps quotidien passĂ© en cellule peut Ă©galement ĂȘtre de plus long au provincial quâen prison fĂ©dĂ©rale La gestion de dossiers Au niveau fĂ©dĂ©ral, la gestion du dossier des dĂ©tenus peut bĂ©nĂ©ficier dâun suivi plus strict et dâune grande organisation, le systĂšme de gestion des sentences est beaucoup plus structurĂ© vu les importantes ressources dont il dispose. La prĂ©paration du plan correctionnel est bien planifiĂ©e et un suivi constant est assurĂ© par diffĂ©rents agents de gestion des cas. Il est donc important pour le dĂ©tenu de pouvoir tisser des liens de confiance avec son agent de libĂ©ration conditionnelle et lâĂ©quipe de gestion de cas qui lui sera attribuĂ©e dĂšs son arrivĂ©e en Ă©tablissement. Les programmes de libĂ©ration conditionnelle Le fĂ©dĂ©ral bĂ©nĂ©ficie de programmes trĂšs structurĂ©s et approfondis de diffĂ©rentes natures pour les dĂ©tenus. Le suivi des programmes recommandĂ©s dans son plan correctionnel est plus quâun simple outil de rĂ©insertion sociale, câest une condition dâobtention de sa libĂ©ration conditionnelle. On voit ici lâimportance pour un dĂ©tenu de se conformer aux exigences de son plan correctionnel afin dâobtenir une recommandation positive de lâĂ©tablissement carcĂ©ral auprĂšs de la Commission des libĂ©rations conditionnelles. Les transferts administratifs Au niveau provincial les transferts administratifs des dĂ©tenus dâune prison Ă une autre sont trĂšs frĂ©quents et une personne incarcĂ©rĂ©e peut subir plusieurs transferts au cours de sa courte sentence. Les transferts de dĂ©tenu dâun pĂ©nitencier Ă un autre sont beaucoup moins frĂ©quents au niveau fĂ©dĂ©ral. Ils ont gĂ©nĂ©ralement lieu en cas dâincidents ou lorsquâun dĂ©tenu fait Ă©tat dâun risque pour sa sĂ©curitĂ©. Les dĂ©tenus fĂ©dĂ©raux courent moins le risque de dĂ©mĂ©nagements rĂ©pĂ©tĂ©s pendant la durĂ©e de leur sentence. Un avocat en droit carcĂ©ral pourquoi ? Cette Ă©numĂ©ration non exhaustive de certaines diffĂ©rences entre les systĂšmes carcĂ©raux fĂ©dĂ©ral et provincial a pour but de vous informer et de vous sensibiliser Ă cette distinction. Vous devriez conclure Ă lâutilitĂ© de confier votre dossier Ă un avocat en droit carcĂ©ral de BMD Avocats, cabinet dâavocat en droit carcĂ©ral Ă Laval, en prĂ©paration dâune possible sentence dâemprisonnement. Lâavocat carcĂ©raliste pourra travailler en collaboration avec votre avocat criminaliste afin de prendre en considĂ©ration toutes ces technicitĂ©s du droit carcĂ©ral dans la nĂ©gociation de votre sentence et ainsi voir au bon dĂ©roulement de votre entrĂ©e en Ă©tablissement pĂ©nitencier. NOUS APPELER 514 666-1111 Avocat Criminaliste / AssociĂ© Me Marc-Antoine Duchaine est titulaire dâun BaccalaurĂ©at en droit de lâUniversitĂ© de Sherbrooke. AprĂšs ses Ă©tudes au Barreau, Me Duchaine dĂ©bute sa carriĂšre au sein du cabinet Couture & Boulet Avocats, oĂč il a pu dĂ©velopper son expertise en droit criminel et pĂ©nal. En 2015, il co-fonde le cabinet BMD Avocats Ćuvrant principalement en droit criminel. PassionnĂ© de droit criminel, il sait mettre Ă profit ses talents de nĂ©gociateur pour ses clients. Il possĂšde Ă©galement une grande expertise en lien avec les demandes de suspension de casier pardon et les waivers AmĂ©ricain. avg. rating 86% score - 8 votes
Adanyaperadilan administrasi. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari negara hukum diantaranya adalah : 1. Supremasi hukum 2. Persamaan dalam hukum 3. Asas legalitas 4. Pembatasan kekuasaan 5. Organ eksekutif yang independent 6. Peradilan bebas dan tidak memihak 7. Peradilan tata usaha negara 8. Peradilan tata
Setiap orang mempunyai hak untuk peradilan yang adil dan tidak memihak baik dalam kasus perdata maupun pidana, dan perlindungan semua hak asasi manusia yang efektif sangat tergantung pada adanya akses pengadilan yang kompeten, independen dan imparsial yang dapat dan akan memproses keadilan secara adil. Bahwa peranan jaksa dan pengacara, dalam kapasitasnya adalah pihak yang akan membuat hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak menjadi kenyataan. Sebuah peradilan yang independen dan imparsial mampu untuk menjamin proses peradilan yang adil tidak hanya penting bagi hak-hak dan kepentingan manusia, tetapi penting juga untuk badan hukum, termasuk entitas ekonomi, apakah usaha kecil atau perusahaan besar, yang selalu tergantung pada pengadilan, juga dalam menyelesaian sengketa. Hak atas peradilan yang adil fair trial adalah salah satu bagian penting dari Hak Asasi Manusia, yang telah diakui baik dalam hukum nasional maupun internasional. UUD 1945 menjalin adanya peradilan yang adil ini diantaranya tercantum dalam Pasal 24 ayat 1 yang menyatakan "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan" dan Pasal 28 D ayat 1 yang menyatakan "setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." Demikian pula dengan sejumlah norma Hak Asasi Manusia internasional yang menjamin adanya peradilan yang adil, diantaranya Pasal 10 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menyatakan, "[e]veryone is entitled in full equality to a fair and public hearing by an independent and impartial tribunal, in determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him." Article 111 adds that "e] very one charged with a personal offence has the right to be presumed innocent until proven guilty according to law in a public trial. . ..". Pasal 14 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Pasal 7 Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Rakyat, Pasal 8 Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika, dan Pasal 6 Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa, dan sejumlah aturan yang relevan Prinsip-Prinsip Fair Trial Salah satu instumen hukum HAM internasional yang menjelaskan tentang fair trial adalah Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menyatakan 1 Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan. Dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum. Media dan masyarakat dapat dilarang untuk mengikuti seluruh atau 67Aturan-aturan lainnya yang relevan dengan ketentuan dia tas dian taranya the Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment; the Universal Declaration of Human Rights; the Code of Conduct for Law Enforcement Officials; the Body of Principles for the Protection of All Persons under Any Form of Detention or Imprisonment; the Standard Minimum Rules for the Treatment of Prisoners; the Guidelines on the Role of Prosecutors and the Basic Principles on the Role of Lawyers; the Rules of Procedure of the International Criminal Tribunals for the former Yugoslavia and Rwanda; and the Statute of the International Criminal Court. +DN $VDVL 0DQXVLD sebagian sidang karena alasan moral, ketertiban umum atau keamanan nasional dalam suatu masyarakat yang demokratis atau apabila benar- benar diperlukan menurut pendapat pengadilan dalam keadaan khusus, dimana publikasi justru akan merugikan kepentingan keadilan sendiri; namun setiap keputusan yang diambil dalam perkara pidana maupun perdata harus diucapkan dalam sidang yang terbuka, kecuali bilamana kepentingan anak-anak menentukan sebaliknya, atau apabila persidangan tersebut berkenaan dengan perselisihan perkawinan atau perwalian anak-anak. 2Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum. 3Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak atas jaminan-jaminan minimal berikut ini, dalam persamaan yang penuh a Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya; b Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri; c Untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya; d Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentingan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya; e Untukmemeriksa atau meminta diperiksanya saksi-saksi yang memberatkannya dan meminta dihadirkan dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama dengan saksi-saksi yang memberatkannya; f Untuk mendapatkan bantuan cuma-cuma dari penerjemah apabila ia tidak mengerti atau tidak dapat berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan; g Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. 4 Dalam kasus orang di bawah umur, prosedur yang dipakai harus mempertimbangkan usia mereka dan keinginan untuk meningkatkan rehabilitasi bagi mereka. 5 Setiap orang yang dijatuhi hukuman berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusannya atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. 6 Apabila seseorang telah dijatuhi hukuman dengan keputusan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan apabila kemudian ternyata diputuskan sebaliknya atau diampuni berdasarkan suatu fakta baru, atau fakta yang baru saja ditemukan menunjukkan secara meyakinkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam penegakan keadilan. Maka orang yang telah menderita hukuman sebagai akibat dari keputusan tersebut harus diberi ganti rugi menurut hukum, kecuali jika dibuktikan bahwa tidak terungkapnya fakta yang tidak diketahui itu, sepenuhnya atau untuk sebagian disebabkan karena dirinya sendiri. 7 Tidak seorang pun dapat diadili atau dihukum kembali untuk tindak pidana yang pernah dilakukan, untuk mana ia telah dihukum atau dibebaskan, sesuai dengan hukum dan hukum acara pidana di masing-masing negara. Hak atas Persamaan di depan Pengadilan dan Akses ke Pengadilan Pasal 26 Kovenan Sipol menyatakan semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun. Hak khusus terkait dengan persamaan dimuka hukum adalah prinsip fundamental dari fair trial, yang dapat ditemukan dalam Pasal 14 1 Kovenan Sipol yakni "Semua orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan pengadilan dan badan peradilan" Hak atas Peradilan yang Terbuka bahwa suatu pemeriksaan harus terbuka untuk masyarakat umum, termasuk anggota pers, dan misalnya, tidak boleh dibatasi hanya untuk suatu kelompok khusus saja. Harus diperhatikan bahwa dalam kasus di mana masyarakat tidak dilibatkan dalam pengadilan, maka putusan harus dinyatakan kepada publik dengan pengecualian yang didefinisikan secara tegas. Hak untuk Diperiksa oleh Independensi, Kompetensi dan Imparsialitas Pengadilan yang Dibentuk Berdasarkan Hukum Pasal 14 ayat 1 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan "dalam menentukan tuduhan pidana terhadapnya, atau dalam menentukan segala hak dan kewajibannya dalam suatu gugatan, setiap orang berhak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka untuk umum, oleh suatu badan peradilan yang berwenang, bebas dan tidak berpihak dan dibentuk menurut hukum." Hak atas Praduga tidak Bersalah Hak untuk tidak dinyatakan bersalah sampai terbukti bersalah prinsip dimana kondisi perlakuan terhadap tersangka atau terdakwa dalam masa penyelidikan dan persidangan, sampai pada dan termasuk dalam putusan akhir. Hak ini tercantum dalam Pasal 14 ayat 2 menyatakan "Setiap orang yang dituduh melakukan kejahatan berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum." Pasal 11 1 Deklarasi Universal HAM menyatakan "Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang diperlukan untuk pembelaannya." Hak untuk Diperlakukan secara Manusiatvi dan Hak untuk Bebas dari Penyiksaan Hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak yang dijamin dalam banyak instrumen Hak Asasi Manusia diantaranya Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang menyatakan "Tidak seorang pun yang dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat." Pada khususnya, tidak seorang pun dapat dijadikan obyek eksperimen medis atau ilmiah tanpa persetujuan yang diberikan secara bebas. Hak untuk tidak Menunda Persidangan; Jaminan ini tidak hanya berkaitan dengan waktu pelaksanaan pengadilan, tetapi juga dengan waktu di mana pengadilan harus berakhir dan putusan dihasilkan; semua tahap harus dilakukan "tanpa penundaan yang tidak semestinya". Untuk membuat hak ini menjadi efektif, maka harus tersedia suatu prosedur guna menjamin bahwa pengadilan dapat berlangsung "tanpa penundaan yang tidak semestinya", baik di tahap pertama maupun pada saat banding. +DN $VDVL 0DQXVLD Hak untuk Diberitahukan Tuduhan/Dakwaan secara Cepat di dalam Bahasa yang Jelas dan Dimengerti oleh Terdakwa/Tersangka Pasal 14 ayat 3a Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik menyatakan "Dalam menentukan tindak pidana yang dituduhkan padanya, setiap orang berhak Untuk diberitahukan secepatnya dan secara rinci dalam bahasa yang dapat dimengertinya, tentang sifat dan alasan tuduhan yang dikenakan terhadapnya." Berdasarkan Komentar Umum No. 13, hak untuk diinformasikan dalam Pasal 14 ayat 3a "berlaku untuk semua tindak pidana yang dituduhkan, termasuk bagi orang-orang yang tidak ditahan" dan istilah untuk, "segera" diberitahukan tentang tuduhan yang dikenakan mensyaratkan agar informasi diberikan dengan cara yang digambarkan dalam ayat tersebut segera setelah tuduhan dibuat oleh pihak yang berwenang. Dalam pandangan Komite, hak ini harus diberikan dalam hal penyelidikan oleh pengadilan atau penyelidikan oleh pihak yang berwenang melakukan penuntutan ketika mereka memutuskan untuk mengambil langkah-langkah prosedural terhadap seseorang yang diduga melakukan suatu tindak kejahatan atau secara publik menyatakan bahwa orang tersebut diduga melakukan suatu tindak kejahatan. Persyaratan khusus subayat 3 a dapat dipenuhi dengan menyatakan tuduhan tersebut baik secara langsung maupun dalam bentuk tulisan, dengan kondisi bahwa informasi tersebut menyatakan tentang hukum dan dasar dari fakta-fakta yang dituduhkan tersebut. Hak untuk Mempunyai Waktu dan Fasilitas Layak untuk Mempersiapkan Pembelaan dan Berkomunikasi dengan Pengacara Pasal 14 ayat 3 b Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik menyatakan "Untuk diberi waktu dan fasilitas yang memadai untuk mempersiapkan pembelaan dan berhubungan dengan pengacara yang dipilihnya sendiri." Yang dimaksudkan dengan "waktu yang memadai" tergantung pada kondisi setiap kasus, tetapi fasilitas yang diberikan harus termasuk akses ke dokumen-dokumen dan bukti-bukti lain yang diperlukan si tertuduh untuk menyiapkan kasusnya, serta kesempatan untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan penasihat hukumnya. Ketika si tertuduh tidak ingin membela dirinya sendiri atau tidak ingin meminta seseorang atau suatu asosiasi untuk membelanya yang dipilihnya sendiri, maka ia harus disediakan alternative akses terhadap seorang pengacara. Kemudian, subayat ini mensyaratkan penasihat hukum untuk dapat melakukan komunikasi dengan si tertuduh dalam kondisi yang memberikan penghormatan penuh terhadap kerahasiaan komunikasi tersebut. Pengacara-pengacara harus dapat memberikan pendampingan dan mewakili klien mereka sesuai dengan standar-standar dan keputusan-keputusan profesional mereka tanpa pembatasan, pengaruh, tekanan, atau intervensi yang tidak diperlukan dari pihak mana pun. Hak untuk Memperoleh Bantuan Penerjemah Bahwa jika si tertuduh tidak mengerti atau tidak bisa berbicara dalam bahasa yang digunakan di pengadilan, maka ia berhak untuk mendapatkan bantuan penerjemah secara cuma-cuma. Hak ini bersifat independen dari hasil proses hukum dan berlaku bagi warga negara asing dan juga warga dari negara yang bersangkutan. Hal ini menjadi penting terutama dalam kasus-kasus di mana ketidakpedulian terhadap bahasa yang digunakan di pengadilan atau kesulitan dalam pemahaman dapat menjadi hambatan utama bagi hak untuk membela diri. Hak untuk Mendapatkan Pendampingan Hukum Hak atas penasehat hukum terdapat dalam Pasal 14 ayat 3 d yang menyatakan "Untuk diadili dengan kehadirannya, dan untuk membela diri secara langsung atau melalui pembela yang dipilihnya sendiri, untuk diberitahukan tentang hak ini bila ia tidak mempunyai pembela; dan untuk mendapatkan bantuan hukum demi kepentigan keadilan, dan tanpa membayar jika ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayarnya." Hak untuk Membela secara Mandiri di Persidangan atau melalui Pengacara yang Dipilihnya Sendiri Tersangka/terdakwa atau pengacaranya memiliki hak untuk bertindak secara berhati -hati dan tanpa rasa takut dalam upaya mencari semua pembelaan yang ada dan hak untuk mengajukan keberatan terhadap tindakan yang dianggap tidak adil. Ketika pengadilan inabsensia dilakukan dengan alasan-alasan yang sah, maka pelaksanaan yang ketat terhadap hak-hak untuk membela diri si tertuduh menjadi sangat penting. Hak untuk Tidak Dipaksa Mengatakan yang akan Menjerat Dirinya! Hak untuk Diam Pasal 143g Kovenan menyatakan Untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengaku bersalah. Article 143g of the Covenant has been violated on several occasions, such as where the author had been "forced by means of torture to confess guilt". He had in fact been held incommunicado for three months, a period during which he was "subjected to extreme ill-treatment and forced to sign a confession".85 While grave situations of this kind are clearly incompatible with the prohibition on forced self- incrimination, there are, as will be seen below, other circumstances when it might be more difficult to assess the lawfulness of the compulsion to which an accused person has been subjected. Hak untuk Menguji Saksi yang Memberatkan Terdakwa/Tersangka, Hak untuk Menghadirkan Saksi di Depan Persidangan Bahwa si tertuduh berhak untuk memeriksa, atau meminta diperiksanya, saksi-saksi yang memberatkannya, dan meminta dihadirkannya dan diperiksanya saksi-saksi yang meringankannya, dengan syarat-syarat yang sama seperti saksi-saksi yang memberatkannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa si tertuduh memilih kekuatan hukum yang sama dalam hal memaksa kehadiran saksi-saksi dan memeriksa atau memeriksa-silang saksi-saksi yang dimiliki oleh penuntut. Hak untuk Banding right to appeal Bahwa setiap orang yang dijatuhi hukuman pidana berhak atas peninjauan kembali terhadap keputusan atau hukumannya oleh pengadilan yang lebih tinggi, sesuai dengan hukum. Perhatian khusus diberikan pada istilah lain dari kata "kejahatan" "infraction", "delito", prestuplenie" yang menunjukkan bahwa jaminan ini tidak sepenuhnya terbatas pada kejahatan yang paling serius. Hak untuk Tidak Memberikan Kesaksian yang Memberatkan Dirinya. Bahwa si tertuduh tidak dapat dipaksa agar memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, atau dipaksa mengakui kesalahannya. Dalam mempertimbangkan jaminan ini, ketentuan-ketentuan Pasal 7 dan Pasal 10, ayat 1, harus diingat kembali. Guna memaksa si tertuduh untuk mengakui kesalahannya atau memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya, seringkali digunakan metode-metode yang melanggar ketentuan-ketentuan tersebut. Hukum harus menentukan bahwa bukti-bukti yang diperoleh dengan cara-cara tersebut atau bentuk-bentuk lain pemaksaan sepenuhnya tidak dapat diterima. +DN $VDVL 0DQXVLD
. 117 216 196 335 194 458 408 243